Rabu, 09 Mei 2012

Sempet menangis baca kisah ini

Harapan demi harapan yang saya bangun ketika membaca kisah ini baris demi baris, akhirnya pupus juga, ketika saya sampai pada akhir kisah nyata ini. Kenapa sakit demam setelah imunisasi bisa menjadi sefatal ini, out of my imagination. Akhirnya saya teringat kepada putra saya Akhdan. Sekarang memang sudah satu tahun dan sudah dapat imunisasi dasar lengkap. Saat ini saya hanya bisa berdoa semoga imunisasi yang telah Akhdan jalani tidak ada efek samping untuk kesehatan dan kecerdasannya.

Saya sampai terbawa ke dalam duka yang dialami oleh keluarga Acep, beberapa menit sempat terpaku, karena saya juga mempunyai putra yang hampir seusia, meskipun kisah ini terjadi tujuh tahun yang lalu. Semoga ada hikmah dibalik kisah ini yang bisa keluarga Acep dapatkan. Doa kami untuk putra tercintanya..

----------------------------- Original Message --------------------------
From: ACP-Acep Apriyanto
Sent: Thursday, May 12, 2005 1:00 PM
Subject: SHARING PENGALAMAN/KISAH NYATA (Imunisasi HIB)

Ini kisah nyata yang saya alami, sebagai informasi / pelajaran bagi rekan-rekan jika suatu saat ada yang menghadapi cobaan seperti yang saya alami.

Saya salah satu karyawan Kantor Pusat di Perusahaan kita, saya menikah pada
pertengahan tahun 2001, saya mempunyai Istri "I" yang dulunya juga adalah
karyawan di Perusahaan kita (Cab. Fatmawati), dan karena untuk mematuhi
peraturan di perusahaan (tidak boleh menikah antar sesama Karyawan), Istri saya
mengundurkan diri dari Perusahaan.

Sejak Menikah (th.2001), Istri saya telah mengalami dua kali keguguran, yang
pertama +/- pada kehamilan berumur 2,5 bulan, dan yang kedua sempat di Operasi
"Kuretase" karena usia kehamilannya telah berumur 3,5 bulan.

Penyebab keguguran, menurut dokter "K" di RS "A" Panglima Polim/Jakarta, karena
Istri saya "kecapaian" (Istri saya bekerja di Perusahaan lain setelah
pengunduran dirinya) dan kandungannya "agak lemah". Dokter memeriksa hasil Lab.
komplit hasilnya " negatif ", tidak terdapat penyakit yang menyebabkan Istri
saya keguguran. Jadi secara medis memang penyebabnya hanya "Kecapaian" dan
"Kandungannya lemah". Jadi jika suatu saat Istri saya hamil lagi, dokter
menyarankan harus extra hati-hati dalam merawatnya.

Bulan Sept 2004, Pada saat Istri saya periksa (karena sudah terlambat bulan) ke
dokter kandungan dr. "K" di RS "A", istri saya kembali dinyatakan Hamil,
keluarga kami begitu bahagia mendengar berita ini. Lalu saya dan Istri dengan
sangat hati-hati merawat kehamilan ini. Segala saran-saran dokter kami
laksanakan dengan baik, minum penguat janin, vitamin-vitamin, susu ibu hamil,
menjaga kesehatan makanan, makan makanan bergizi, menjaga pantangan-pantangan
ketika Hamil, dan bahkan untuk menjaga kehamilannya (pada saat itu berumur 5
bulan), Istri saya rela kembali keluar dari tempat kerjanya (saat itu masih
bekerja pada Bank "B") dengan tujuan ingin benar-benar konsentrasi dalam
merawat/menyusui anak.

Pada pertengahan bulan Juni 2005, Istri saya melahirkan dengan baik (walau
dengan operasi caesar), bayi kami sehat tidak kurang suatu apapun, beratnya
3.150 Kg dengan panjang 49 Cm. Sekali lagi Kami sangat bahagia atas peristiwa
ini. Kembali Segala saran-saran dokter (Dokter Anak: Prof. "R" di RS "A") kami
laksanakan dengan baik, minum vitamin-vitamin, susu ibu menyusui, menjaga
kesehatan makanan/perlengkapan makan, makan makanan bergizi, menjaga
pantangan-pantangan dalam merawat bayi. dan rutin melakukan Imunisasi.

Disinilah mulai timbul bencana pada keluarga kami,
pada saat anak/bayi kami
berusia +/- 7 bulan, untuk kesekian kalinya kami datang untuk imunisasi, pada
saat itu kami datang ke dr Anak kami Prof. "R" di RS "A", namun pada saat itu
beliau tidak masuk, diganti oleh dokter pengganti/wanita yang masih muda/mungkin
dokter baru (namun saya lupa namanya). Begitu melihat jadwal pada buku RS anak
saya, dokter tersebut langsung siap melakukan imunisasi terhadap anak saya,
"hari ini imunisasi HIB ya ?!" , saya & istri tahu bahwa imunisasi HIB tersebut
salah satunya untuk mencegah radang Otak, makanya Istri saya sempat bertanya,
"dok, seandainya imunisasi ini tidak dilakukan bagaimana ya?!", lalu dokter
pengganti tersebut menjawab dengan nada agak ketus, "apakah ibu mau, anak ibu
jadi Idiot?! (sambil memperagakan tampang muka orang yang idiot dengan lidah
dijulurkan keluar)" . Karena begitu sayangnya kami dengan anak kami, sudah
barang tentu kami tidak mau anak kami idiot, lagi pula saya saat itu berfikir
demi kesehatan anak kami tentulah kami menuruti apa kata dokter yang lebih
tahu/berpengalaman dengan imunisasi tersebut. Lalu tanpa memeriksa dengan
seksama kondisi anak kami dalam keadaan fit/tidak, dan perlu tidaknya imunisasi
tersebut kembali diberikan kepada anak saya (karena sebelumnya pada saat berumur
+/- 5 bulan anak kami telah pernah diberikan imunisasi HIB I) dokter pengganti
tersebut langsung memberikan suntikan imunisasi HIB II kepada anak saya.

Dua hari setelah pemberian imunisasi HIB yang kedua tersebut anak kami mengalami
panas, lalu turun, panas lagi lalu turun ( 2 atau 3 hari sekali pasti mengalami
panas ) dan anehnya panasnya hanya dikepala dan di pundak/leher serta di ketiak
saja, badan/tangan dan kakinya tidak.

Hal ini berlangsung +/- selama dua minggu, jika sedang panas, panasnya pernah
sampai 40,6 derajat C.

Sewaktu di kantor saya sempat bertanya kepada rekan-rekan yang masih/pernah
punya anak kecil mengenai panas anak saya, banyak diantara mereka yang bilang
panas setinggi itu berbahaya, malah sebagian teman bilang anaknya panas "cuma"
38 derajat C saja sudah Step/kejang-kejang, namun sampai hari itu anak saya
belum pernah Step/kejang-kejang, padahal panasnya beberapa kali sampai 40
derajat C, dan biasanya akan turun dengan sendirinya, paling-paling hanya rewel,
susah tidur. Saya mulai Panik dan khawatir, takut jika anak saya tiba-tiba
kejang/step di rumah.

Dan Saya mulai ke dokter, kebetulan di dekat rumah ada dokter Umum di RS. "D" (
Berhubung waktu itu hari minggu tidak ada dokter Spesialis anak yang Buka ).
Dokter tersebut memberikan beberapa macam obat, ada yang syrup, ada yang serbuk.
Setelah memakan obat-obatan tersebut selama 3 hari, anak kami masih belum
membaik ( panasnya masih naik turun ), lalu kami ke RS "A" tempat dokter anak
saya Prof. "R" dimana selain diberi obat-obatn juga disarankan untuk
memeriksakan darah anak saya ke Lab. (waktu itu saya langsung periksakan anak
saya ke Lab. "P" yang sudah berpengalaman),

Karena setelah kami ketahui hasilnya "negatif/tidak ada penyakit" dan obat dari
Prof. "R" di RS "A" juga belum efektif menyembuhkan panas anak saya, akhirnya
saya membawa anak saya ke RS "B" Cikini ( karena saya tahu di RS "B" ada ruang
perawatan anak, jika memang anak saya perlu di rawat).

Di sinilah ketabahan/kesabaran kami di uji. Saya datang pertama kali ke RS "B"
cikini, Kamis 17 Maret 2005 pagi +/- jam 7.00 Wib, dan setelah bertanya
kesana-kemari saya langsung membawa anak saya ke UGD (Unit Gawat Darurat) karena
masih pagi, dan disana ada dokter jaga, setelah dilakukan beberapa tindakan lalu
+/- jam 08.30 saya bawa anak saya ke dokter Spesialis anak dr. "N", baru
kemudian diminta untuk di bawa ke ruang perawatan untuk di rawat.

Pintarnya RS, setiap mereka akan melakukan tindakan medis terhadap anak kami,
kami/orang tua harus menyetujui terlebih dahulu tindakan tersebut, dengan
catatan apabila orang tua pasien tidak menyetujui suatu tindakan medis, kami
juga disodorkan surat penolakan tindakan medis, yang didalamnya tertera apabila
terjadi apa-apa terhadap anak saya, maka pihak RS tidak bertanggung jawab karena
tindakan medis yang akan mereka lakukan tidak disetujui. Itu artinya kami/pasien
bagai memakan buah simalakama, dan tentunya harus mengikuti semua
langkah-langkah medis yang dilakukan oleh pihak RS, karena memang tidak ada
pilihan lain.

Anak saya langsung di infus dan diambil darahnya untuk pengecekan (karena hasil
cek darah yang saya bawa dari Lab "P" sebelumnya menurut pihak RS bisa berubah)
walaupun akhirnya hasilnya juga masih "negatif" tidak diketahui
penyebab/penyakit panas anak saya. Kemudian atas anjuran dokter anak saya harus
puasa dari jam 15.00 (tiga sore) sampai dengan 21.00 (sembilan malam) kerena
akan diambil darahnya lagi untuk pemeriksaan.

Selama waktu tersebut kami sedih melihat anak saya, walaupun ada infus di
kakinya, namun anak saya tampak ingin makan/minum, namun kami tidak berikan
walau mulutnya seperti orang yang kehausan. Kami sangat mengkhawatirkan fisik
anak saya.

Benar saja apa yang Saya dan Istri saya khawatirkan terjadi, esokan hari/Jum'at
subuh begitu panas anak saya kembali tinggi sampai lebih dari 40 derajat C, anak
saya langsung kejang/Step (padahal sewaktu di rumah belum pernah sekalipun anak
saya kejang/Step seperti saat itu), suster-suster RS mulai memberikan anak saya
Oksigen melalui selang ke hidung, dan karena panas/Kejangnya lebih dari 1/2 jam,
maka anak saya pagi itu juga langsung di bawa ke ruang ICU/PICU (Pedriatic
Intensive Care Unit). Anak saya di diagnosa awal "kemungkinan" terkena Radang
Otak yang disebabkan oleh Virus/bakteri, sehingga mengganggu fungsi pengaturan
suhu tubuh. Dan dokter bilang kemungkinan sembuhnya hampir tidak ada, kalaupun
sembuh akan ada efek sisa, misalnya jadi Idiot, Lumpuh, dsb. (Pihak RS langsung
Pesimistis untuk penyembuhan anak saya).

Di ICU anak saya di rawat oleh Tim Dokter, dengan ketua Timnya yaitu dr. "Y"
(dokter spesialis anak senior RS "B"), dengan anggota beberapa dokter Spesialis
THT, Syaraf, Urologi, Bedah, dsb. Ditambah dengan dr.Konsulen/semacam penasihat,
yaitu Prof. "A" dari RS "C", selain dokter tim tersebut dibantu oleh beberapa
orang suster yang dalam sehari bekerjanya dibagi menjadi 3 shift, suster-suster
inilah yang memonitor perkembangan kesehatan anak kami tiap saat. Suster juga
sama seperti karyawan di kantor kita, ada yang teliti, ada yang rajin, ada yang
baru/belum berpengalaman, ada yang text book, ada yang kurang berani bertindak,
dsb.

Sabtu subuh (hari ke dua perawatan) anak saya kembali panas tinggi dan kembali
kejang, kali ini suster jaga pada saat itu terlihat kurang tanggap/cekatan dalam
memberi tindakan terhadap anak saya, malahan pada saat kejang, karena tenaga
medis tidak begitu "care", Istri saya sendiri yang harus mengganjal mulut anak
saya dengan alat pengganjal agar lidahnya tidak tergigit, dan karena terlalu
lama tidak ditangani dengan baik akibatnya anak saya semakin lemah, terlihat
pada mesin yang memonitor Oksigen dan Jantung anak saya saturasinya (istilah
mesin tsb) terus menurun. Pada saat tim Dokter datang kondisi anak saya sudah
memburuk, bahkan pada layar monitor mesin saturasi sempat terlihat "Flat",
artinya paru-paru/oksigen dan jantung anak saya telah berhenti bergerak. Saya
dan Istri langsung Shock dan lemas tangis pun tak terbendung. Beberapa tenaga
medis terus berusaha memompa secara manual nafas anak saya, lalu mereka segera
memasang mesin Ventilator/alat bantu pernafasan (mesin yang sama dengan yang
digunakan Almh. Sukma Ayu) dan menyalakannya. Seperti biasa pihak RS menyodorkan
surat persetujuan tindakan pemasangan mesin tsb. Pada saat itu saya & istri
sangat Shock, sehingga konsentrasi kami hanya kepada anak kami tersebut, oleh
karena saya tidak begitu memperdulikan surat persetujuan melakukan tindakan yang
disodorkan RS, akibatnya pihak RS langsung mencopot kembali selang-selang yang
terpasang dan mematikan mesin/listrik Ventilator tsb.

Kami kesal dan marah (walau hanya di dalam hati), lalu segera meraih surat
persetujuan tindakan tsb dan menandatanganinya, barulah alat tersebut kembali
dipasang/dinyalakan, dan selamatlah nyawa anak saya ketika itu (padahal menurut
hemat saya hitungannya hanya detik untuk mengambil keputusan tersebut/terlambat
sedikit mungkin akan berbeda ceritanya).

Kurang lebih dua minggu alat Ventilator itu terpasang, dan dua minggu itu pula
kami mengalami pengalaman yang sangat pahit dalam kehidupan kami, kami
menyaksikan betapa tersiksanya anak yang kami sayangi yang terus menerus
dilakukan tindakan medis, diantaranya :

1. Diambil darahnya yang hampir setiap hari (dengan cara disedot dengan alat
suntik), walaupun hasil Lab.-nya selalu negatif dengan jumlah pengambilan dalam
sehari bisa 3X, dan dalam sekali ambil antara 5 - 10 CC darah, padahal kondisi
anak saya ketika itu sangat lemah/terlihat kuning seperti kurang darah. Diambil
sampel Urine, sampel cairan dari perut, Bahkan sampai diambil contoh cairan
otaknya (melalui penyedotan pada ruas tulang belakang) walaupun hasilnya juga
negatif.

2. Berganti-ganti tempat untuk memasukan jarum Infus, dari vena-vena di kepala,
tangan, kaki, selangkangan, malah karena Tim medis sudah kesulitan memasukan
jarum infus, tim medis melakukan tindakan Vena Sectio (operasi kecil/merobek
kulit/daging terluar) untuk dicari pembuluh vena yang berada agak ke dalam agar
jarum infus dapat memasukan cairan infus ke tubuh anak saya. Kedua pergelangan
tangan dan kaki anak saya telah di-Vena Sectio.

3. Bius Total, dengan alasan takut mesin Ventilator tidak berfungsi dengan baik
apabila anak saya dalam keadaan sadar.

4. Diberi obat-obatan/anti biotik berganti-ganti sesuai indikasi/kemungkinan
(Baru kemungkinan/seperti coba-coba) penyakitnya yang kadarnya tergolong keras,
yang sudah pasti banyak efek sampingnya.

5. Karena sudah tidak ada tempat untuk Infus dan pengambilan darah (semua titik
venanya telah habis), beberapa kali tindakan infus/pengambilan darah tidak
berhasil dilakukan, lalu dicoba lagi dan di coba lagi sehingga menimbulkan bekas
luka lebam/biru/bekas-bekas jarum suntik yang sangat banyak.

6. Dilakukan foto Thorax (Rongent) beberapa kali, Padahal sekali saja dilakukan
di yakini dapat membunuh banyak sel tubuh )

7. Timbul efek samping, Paru-paru anak saya meradang/infeksi sehingga di penuhi
banyak cairan, dan kepala belakang dan samping kiri memar/luka/lecet/bengkak.
Karena terlalu lama dalam posisi tidur/di bius (hal ini seharusnya tidak perlu
terjadi kalau tim medis sering merubah posisi tidur anak saya/setelah kami
Complain baru hal ini dilakukan).

8. Masalah Biaya. Sering kali pihak RS (dokter/suster), menanyakan masalah
biaya, walaupun berkali-kali saya katakan ada surat jaminan pembayaran dari
Kantor. (Coba bayangkan seandainya memang kami tidak punya biaya).

9. Diagnosa penyakit yang tidak didukung bukti yang pasti, tim Medis hanya
selalu mengatakan "Kemungkinan". Dari +/- satu bulan di rawat, anak saya sudah
beberapa kali dikatakan kemungkinan penyakitnya bersumber dari Radang Otak
karena penyakit/Virus/bakteri: Herpes, berubah Toxoplasma, berubah Maningitis,
berubah Ensevalitis, sampai kesimpulan terakhir/dari sampel darah terakhir anak
saya masih belum mengetahui pasti penyebab penyakitnya (bukti lab. adanya
virus/bakteri tersebut tidak pernah ada).

Pada masa itu juga kami sempat beberapa kali bersitegang dengan beberapa Tim
Medis anak saya, namun kami selalu kalah (mengalah) karena posisi kami sangat
lemah, Ketua tim dokternya "dr.Y" sempat berujar bahwa mereka dokter-dokter
ahli, " kalau di RS "C" bapak boleh bilang "begitu", karena banyak dokter muda
yang sedang belajar disana" (maksudnya menanggapi guman saya dengan istri saya,
"kok anak kita seperti kelinci percobaan ya!? dan kata-kata tersebut didengar
Suster, yang lalu melaporkannya ke ketua Tim dokternya) , bahkan dokter itu juga
sempat berkata " kalau bapak tidak puas, silahkan angkat anak bapak sekarang !!"
. Padahal saat itu, hal tersebut tidak mungkin kami lakukan karena seluruh tubuh
anak saya terpasang mesin (Ada mesin ventilator, ada mesin saturasi
Oksigen/Jantung, ada infus, ada selang Sonde/makanan, dsb)

Pernah seorang anggota Tim dokter yang didatangkan dari RS "C", yaitu dr. "I"
ahli syaraf, setelah memeriksa anak saya mengatakan, "Penyakitnya malah dari RS
ini semua, ya !!", Setelah masa perawatan 2 minggu tersebut timbul berbagai
komplikasi; mata anak saya buta/tidak bisa melihat (menurutnya mungkin bisa
sembuh karena anak saya masih bayi), Infeksi paru, memar di kepala, badan
kaku/keras, padahal pertama kali masuk RS anak saya "hanya" sakit Panas.
Kemudian dr "I" juga bilang " tadi saya coba lepas alat Ventilatornya agak lama,
anak bapak bagus kok, dia sudah bisa bernafas sendiri ". Saya bersyukur berarti
ada kemajuan pikir saya ketika itu.

Awal minggu ke tiga beberapa orang tim medis (ada beberapa dokter dan beberapa
suster), mencoba melepas alat bantu nafas/Ventilator (mungkin setelah diberi
masukan oleh dr. "I" dari RS "C"), di coba 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya
.... rupanya anak saya sudah bisa kembali bernafas sendiri/normal. Namun karena
Sumber penyakitnya belum diketahui maka Tim medis beberapa kali melakukan
penggantian Obat/anti biotik, diantaranya Acyclovir, Delantin, Tegatrol, TieNam,
Meronem (dua jenis yang tertulis dibelakang katanya merupakan anti Biotik yang
paling Ampuh/Mahal/Impor dari Amerika).

Minggu ketiga dan selanjutnya Panas kepala anak saya relatif stabil (antara 36 -
38 derajat C), dan kondisinya relatif membaik "hanya" tinggal matanya yang Buta
dan badannya yang kaku (sendi-sendinya tidak bisa ditekuk), namun pengambilan
darah masih dilakukan secara berkala, dan hampir setiap hari dilakukan Terapi
Fisioteraphy (Penyinaran dan pemijatan). Sehingga akhir minggu ke tiga semua
Infus telah dicopot, oksigen dicopot, hanya tinggal selang Sonde (Selang
makanan/di mulut) yang masih terpasang.

Saya dan Istri (serta keluarga besar kami), terus berdoa setiap hari untuk
kesehatan anak kami satu-satunya, sampai pada pertengahan minggu ke empat, dr.
"I" (Specialis syaraf dari RS "C") bilang anak kami boleh di bawa pulang, namun
minimal harus sehari masuk ke ruang perawatan biasa dahulu (sesuai prosedur RS
"B"). Dan menurut dokter "I" juga, anak kami hanya cukup rawat jalan ke RS "C",
untuk berobat ke dr. "I" dan dr. "L" (specialis tumbuh kembang/penyembuhan tubuh
anak saya yang masih kaku-kaku). Setelah sehari berada di ruang perawatan biasa,
dan tidak ada masalah kami membawa anak kami pulang dengan membawa dua macam
obat (Anti kejang dan anti Virus), dan sebelum pulang, lagi-lagi anak kami
diambil kembali darahnya oleh RS untuk pemeriksaan penyebab penyakit anak kami,
setelah itu barulah kami diperbolehkan pulang.

Namun tidak sampai 2 hari anak kami di Rumah, kami/keluarga lupa akan luka
dibelakang kepalanya (akibat perawatan yang lalai sebelumnya) yang masih belum
sembuh total, lukanya terlihat memar/merah/agak bengkak/dan mungkin infeksi,
yang mungkin juga membuat anak kami panas lagi/karena infeksinya, Panasnya
kembali naik sampai 40 derajat C lebih, bahkan ketika akan kami beri obat (yang
kami bawa dari RS), anak kami muntah hingga lemas, lalu tanpa banyak pikir lagi
walaupun pada saat itu jam 02 pagi, kami kembali membawa anak kami ke RS "B"
Cikini dan kembali kami mengalami kekesalan, anak kami diperlakukan layaknya
seperti pasien yang baru masuk RS. Anak kami kembali masuk ICU, kembali harus
Infus, puasa, diambil darahnya lagi (meskipun titik venanya sudah habis/tidak
ada tempat lagi untuk infus/periksa darah, dan saya juga telah sampaikan mungkin
panasnya akibat luka dibelakang kepalanya yang belum sembuh/infeksi), padahal
saya sudah protes terhadap dr. jaga pada saat itu bahwa anak saya sebelumnya
sudah dirawat hampir sebulan di RS tersebut, dan hasil lab. terakhirnya juga
baru kemarin saya ambil dengan hasil "negatif", juga saya kemukakan mengenai
luka dibelakang kepalanya yang harus diprioritaskan pengobatannya. Namun karena
dr. terus mengemukakan argumennya, akhirnya kami mengalah dan menyerahkan
sepenuhnya apapun yang akan dilakukan oleh dr. Dan kembali anak saya dipakaikan
selang Oksigen ke hidungnya , lalu dengan alasan "saturasi" nafasnya terus
menurun, Tim medis berencana untuk memasang kembali mesin Ventilator pada anak
saya, dengan sebelumnya meminta persetujuan saya lagi untuk diambil darahnya
sebelum pemasangan mesin tersebut (padahal ketika itu kondisinya terlihat
pucat/kuning seperti telah kehabisan darah). Kembali dengan berat hati dan
berharap Tim Medis melakukan tindakan yang "benar" untuk anak saya, saya kembali
menyetujuinya. Namun belum sempat mesin itu dipasang, belum sempat hasil lab I
dan ke II (pengambilan darah pada pada hari itu) ada hasilnya, akhirnya anak
saya dipanggil oleh yang Maha Kuasa ...... anak saya mengalami Gagal Nafas dan
dinyatakan Meninggal oleh pihak RS, walau saat itu saya pegang denyut Nadi di
leher/bawah dagunya masih ada (walau lemah), sewaktu kami minta untuk terus
memompa alat bantu nafas manualnya, Dokter/suster yang ada pada saat itu sudah
lepas tangan dan tidak melakukan tindakan apapun juga. Akhirnya dengan Ikhlas,
didepan mata kepala saya dan istri saya, anak kami melepaskan nyawanya tanpa
kami bisa berbuat apapun juga ( Selasa 12 April 2005 Jam 23.25 wib). Akhirnya
Anak kami meninggal dengan sebab bukan karena penyakitnya (Panas), menurut kami
"kemungkinan" karena gagal nafas/Infeksi paru atau malah "mungkin" karena
terlalu lemah kehabisan darah.

Innalillahi Wa inna illaihi roji'un selamat jalan Permata hatiku,........ doa
kami 'kan selalu menyertaimu...Amin

Dan tidak lupa saya & keluarga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada rekan-rekan yang telah memberikan suport baik moril, materil maupun
spirituil kepada saya dan keluarga, semoga segala kebaikan rekan-rekan akan
dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.

Salam,
Istriyanto & Keluarga

Note :
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Ilmu Kedokteran dan tenaga medis, sesuai
dengan pengalaman berharga dan mahal yang telah saya alami, maka kami mencoba
mengambil kesimpulan (Setelah kami juga mendengar dari sesama Pasien RS,
rekan/sahabat, tetangga, saudara yang sempat bezuk dan mengatakan pada saya,
selama dalam perawatan sampai saat Meninggalnya anak saya) sbb:

1. Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik
imunisasi.
- Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya sampai
dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun, setelah ada
dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan di imunisasi Hepatitis,
kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak saudaranya positif terkena
Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter.

- Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah terkena
campak.
- Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin diimunisasi, namun fhisiknya
malah lemah sering sakit-sakitan, sedangkan anak keduanya sama sekali tidak
pernah imunisasi namun malah sehat, hampir tidak pernah sakit (kalaupun sakit
cepat sembuh/ringan)

- Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan
sudah lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit (kalaupun
sakit hanya ringan saja).

- dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu persatu.

2. Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa pilihlah
imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang aneh-aneh) alasannya :

- Kita "Mendzolimi", anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan
pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun sudah
dilemahkan) ke tubuhnya.

- Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau tidak,
karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa bicara
mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada bayi/balita
yang sehat (tidak sedang lemah fisiknya/sakit).

- Sesudah kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga harus
mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb),

- Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak kita
bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya. Contoh nyata yang terjadi
pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB ketika berusia +/-
5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang imunisasi HIB untuk
menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak saya malah meninggal
akibat penyakit Radang Otak.

- Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru
Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha dihilangkan
dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di STOP
samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor "industri",
imunisasi.

- Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua
sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan Ras/warna
kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya disesuaikan
dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas lebih basar dan kuat fisiknya
dibanding orang Asia, namun kita malah sama-sama menggunakan dengan takaran yang
sama. (akibatnya overdosis).

3. Jika tidak "urgent" sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak
prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya.

(Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus
menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu
dengan cara pengobatan alternatif/tradisional.

4. Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan
dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh terhadap
kesembuhan pasien.

5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik.

6. Banyak tanya, biarlah kita dibilang "bawel", tanyalah setiap tindakan medis
yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada tidak
cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti pasien.

7. Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena
setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati
semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan
melaporkan ke tenaga medis yang ada segera.

8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh "Yang Maha
Kuasa", manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.

..........................................................end of message...........................................................

Balasan dari Bapak Setiadi
Re: SHARING PENGALAMAN/KISAH NYATA (Imunisasi HIB)

Sebelumnya saya mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya anak
Bapak/Ibu tersebut.

Saya menganjurkan agar Bapak/Ibu melaporkan kasus ini ke LBH Kesehatan
atau ke Media Massa, serta mengirimkan kembali email dengan semua
singkatan nama Rumah Sakit dan nama Dokter ditulis lengkap, karena
hanya dengan cara inilah kasus ini tidak terulang kembali, tentu saja
dengan tetap memegang asas praduga tidak bersalah.

Beberapa point yang dapat dijelaskan adalah :

1. Dari segi waktu pemberian imunisasi HIB sudah sesuai dengan yang
dianjurkan oleh WHO yaitu pemberian imunisasi HIB adalah 3 kali dalam
1 tahun pertama dengan jarak pemberian minimal 4 minggu umumnya
dilakukan pada bulan 2,4, atau 6.

2. Reaksi demam pada pemberian imunisasi HIB terjadi pada 2% anak
dengan suhu dapat diatas 39 oC, umumnya berlangsung kurang dari 2
hari. Dianjurkan kembali ke dokter apabila anak mengalami demam lebih
dari 2 hari. Kesalahan yang mungkin dilakukan oleh dokter pada tahap
ini adalah tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai efek
samping dari imunisasi yang dilakukan dan apa yang harus dilakukan
oleh orang tua apabila terdapat efek samping tersebut.

3. Adanya reaksi demam itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa
anak yang sedang dalam keadaan sakit atau tidak fit dianjurkan tidak
melakukan imunisasi karena dapat menyebabkan kesulitan dalam
menentukan apakah demam disebabkan oleh penyakit atau imunisasi.

4. Sebenarnya surat persetujuan tindakan medis berfungsi untuk
melindungi pihak pasien dari agar pihak dokter/rumah sakit tidak
melakukan suatu tindakan medis sembarangan/tanpa izin pasien jadi
bukan untuk melindungi pihak dokter/rumah sakit karena surat
persetujuan tindakan medis tersebut diwajibkan dalam hukum. Yang
banyak dilupakan/tidak dilakukan oleh pihak dokter/rumah sakit ketika
meminta tanda-tangan surat persetujuan tindakan medis tersebut adalah
mereka tidak menjelaskan apa tujuan, apa keuntungan yang didapat, apa
bahaya apabila tidak dilakukan, apa efek samping dari tindakan
tersebut, dsb. Informasi tersebut harus diberikan kepada pasien ketika
meminta persetujuan tindakan medis.

5. Pengambilan darah yang berkali-kali mungkin memang perlu
dipertanyakan karena pada kasus meningitis yang diduga disebabkan oleh
bakteri, darah diambil terutama untuk dilakukan pembiakan bakteri
bukan untuk melihat komponen darahnya (sel darah merah, sel darah
putih, dsb), karena dengan melihat komponen darah sudah dipastikan
tidak akan ditemukan bakteri/virus. Pengambilan cairan otak melalui
tulang belakang justru harus dilakukan pertama kali pada saat pasien
datang apabila diduga meningitis oleh bakteri, karena cairan otak ini
sangat penting untuk membedakan apakah meningitis disebabkan oleh
bakteri atau virus.

6. Tienam (Imipenem) dan Meronem (Meropenem) bukan merupakan
antibiotik pilihan pertama "drug of choice" untuk meningitis yang
disebabkan oleh bakteri, melainkan antibiotik alternatif yang
diberikan hanya jika kuman bakteri tersebut telah resisten terhadap
antibiotik pilihan pertama. Pembuktian apakah bakteri tersebut telah
resisten dilakukan dengan pembiakan bakteri dan test resistensi, jadi
tidak berdasarkan gejala klinis saja.

7. Saya masih kurang jelas tentang apa saja/obat apa yang diberikan
pada saat anak ada kejang, karena biasanya apabila anak kejang tidak
boleh dibiarkan saja melainkan dilakukan pemberian obat anti kejang.

8. Penggunaan ventilator pada saat terjadinya berhenti napas memang
diperlukan, namun yang menjadi pertanyaan apakah selama 2 minggu
dipasang ventilator, dokter melakukan pelepasan ventilator untuk
melihat apakah anak telah bisa bernapas spontan atau tidak (seperti
yang dilakukan oleh dr. "I" dari RS "C".

9. Apabila memang benar telah dilakukan pembiusan total dengan alasan
takut mesin Ventilator tidak berfungsi dengan baik apabila dalam
keadaan sadar, maka hal tersebut patut dipertanyakan karena justru
karena bius total-lah maka pernapasan berhenti sehingga memerlukan
ventilator. Bila hal itu memang terjadi, maka alasan dilakukan bius
total tersebut adalah karena apabila anak anda tidak di bius total,
maka anak anda akan melakukan pernapasan secara spontan, sehingga
udara yang dipompa oleh ventilator akan tidak sinkron dengan kecepatan
bernapas anak anda, namun hal itu tidak menjadi masalah karena apabila
anak anda telah melakukan pernapasan secara spontan maka tentu saja
ventilator tersebut tidak diperlukan lagi. Logika inilah yang mungkin
dipakai oleh dr. "I" dari RS "C".

Setiadi

Note :
Imunisasi masih dilakukan dan dianjurkan di Amerika Serikat, Perancis
dan Israel. Imunisasi sebenarnya aman dan telah menyelamatkan jutaan
nyawa di seluruh dunia per tahunnya. Yang menjadi persoalan adalah
banyak faktor yang harus diperhatikan agar imunisasi tersebut aman,
seperti penyimpanan vaksin, keaslian vaksin, tanggal kadaluarsa dari
vaksin, dsb. -------------------------------------------end of message-----------------------------------

Terimakasih Bapak Acep telah menceritakan kisah nyata ini, semoga nantinya bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih waspada lagi dengan keadaan yang di alami oleh anak kita. Setidaknya saya akan lebih aware dengan putra saya Akhdan. Semoga pengalaman nyata ini tidak di alami oleh sahabat-sahabat saya lainnya. Dan bagi keluarga Acep, kami turut berbela sungkawa, meski kisah ini terjadi tujuh tahun yang lalu, semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita bersama.

Tidak ada komentar: